![]() |
Kontak Banten Crew |
Untuk pembahasan kali ini , saya akan menjelaskan tentang Dana Politik serta korupsi korupsi dalam pemilu ( Pemilihan Umum ). Seperti yang diketahui bahwasanya pemilu serentak akan di gelar beberapa bulan mendatang, oleh karena itu maka saya membuat sebuah artikel ini untuk menjelaskan dana yang masuk dalam pemilu serta dana politik lainnya seperti kampanye dan lain lain.
Politik Uang, Risywah yang Digemari
Politik uang atau (money politics). Topik ini dibicarakan dalam pertemuannya dengan Pimpinan Redaksi dan Wartawan Tema : money politik adalah salah satu dari tiga penyakit dalam perpolitikan di tanah air. Dua lainnya adalah politik kekerasan dan politik yang tidak mencerdaskan. Harus membicarakan dan mendiskusikan ketiga penyakit tersebut, agar pada pemilihan Langsung Gubernur yang akan di gelar tampil adalah Gubernur yang berkualitas," , menyampaikan keprihatinan tentang politik uang, Agustus 2014 lalu, menyusul temuan survey Political Research Institute For Democracy (Pride) dan Yayasan Paramadina, tentang maraknya politik uang dalam pemilihan kepala daerah.
Politik uang dalam pengertian jual beli suara (vote buying) di Indonesia, memang bukan lagi persoalan sepele. Bahwa politik uang kian marak, sinyalemen soal ini kiat menguat. Tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah sikap masyarakat terhadap politik uang. Betapa tidak, masyarakat justru menunggu datangnya 'serangan fajar' dan 'operasi operasi politik uang lainnya'. Kenyataannya seperti itulah yang ditemukan Pride Paramadina, dalam surveinya , secara terbuka meminta calon kepala daerah memberi uang cash jika ingin dipilih. Selebihnya meminta sembako, modal usaha, dan lain lain. Pendek kata, polanya sudah benar benar transaksional
Sanksi Pidana Politik Uang
Ancaman sanksi kurungan maupun denda bagi pelaku tindak pidana politik uang terus mengalami perubahan dari Pemilu ke pemilu, ancaman sejumlah UU pemilu Legislatif, UU Pilpres, dan UU Pemerintah Daerah yang menjadi dasar hukum pelaksanaan Pilkada.
Politik Uang, Modus, dan Aktor Aktornya
Pada 2014 lalu, ada dua survei khusus tentang Politik Uang (money politics). Tapi, selain dua survey tersebut, pada tahun yang sama, ada pula penelitian lapangan yang dilakukan oleh seorang peneliti dari University Of Leeds, Inggris, Daniel Bumke. Hasilnya setali tiga uang ( Politik uang semakin menggila ).Bumke melakukan penelitian pada paruh pertama 2014, untuk memahami pembelian suara, broker suara, dan korupsi politik di Indonesia. Di Kedua daerah itu, dia mengkonfirmasi betapa money politics memang tersebar luas dalam Pemilukada, dan politik lokal secara umum.Hasil penelitian nya itu dia tulis dalam paper bertajuk Challenge Democratization : Money Politics and Local Democracy in Indonesia. Dia memotret soal politik uang di Indonesia secara cukup komprehensif, baik dari sisi budaya, sejarah dan tantangannya terhadap demokrasi Indonesia.
Hitam Putih Politik Uang
"Ambil uang nya, jangan pilih partainya", Demikian syair gubahan almarhum Franky Sahilatua, saat melakukan kampanye anti politisi busuk, menjelang Pemilu 2012 Sikap yang kian banyak mendapat gugatan. Banyak yang berpendapat perlu sikap yang lebih tegas menyikapi politik uang.Betapa tidak, lingkaran survey Indonesia (LSI) menemukan bahwa tingkat kerelaan masyarakat untuk menuruti kemauan pemberi uang, semakin besar. Dalam survey tahun 2014 lalu, responden yang menyatakan menerima uang dan mencoblos pemberi uang, masih 27,5 persen. Tapi, dalam survei 2015, jumlahnya naik menjadi 10 percentage point, menjadi 37,5 persen.
Responden yang menyatakan menerima uang, tapi tidak memilih orang yang memberi uang, kini tinggal 7,8 persen. Padahal pada survei 2014 lalu, angkanya masih 13,2 persen. Kondisi tersebut semakin di perparah dengan kian permisifnya masyarakat terhadap politik uang.Salah seorang yang pernah menyerukan sikap hitam dan putih dalam menghadapi politik uang adalah pengamat politik, Alfian. Dalam kolomnya yang bertajuk Demokrasi Sembako, di harian Pelita, dia mengaku termasuk salah seorang yang mempertanyakan syair Franki.Berkata Alfan, "Kalau mau konsisten, maka mengapa tidak tolak saja uang mereka, dan jangan pilih. Sebuah tawaran uang atau apapun, bisa ditelusuri motifnya. Dan kalau ia tergolong orang money politics maka itu adalah bagian dari penyuapan yang harus ditolak."Pengamat ekonomi, Didik J Rachbini, mengatakan politik uang saat ini bisa marak, karena masyarakat kebanyakan tidak mengerti makna dan filosofi demokrasi. Sialnya para elite, alih alih melakukan penyadaran, malah memanfaatkan kondisi tersebut. "Ketidaktahuan itu lalu diakali oleh para politikus," katanya kepada penulis.
Karena itulah, Didik mengatakan masyarakat harus diberi penyadaran tentang bahaya politik uang bagi demokrasi dan masa depan bangsa. "Perlu dilakukan civic education tentang demokrasi yang benar, sehingga masyarakat memilih pemimpin yang terbaik, yang bisa membawa daerah atau negaranya menjadi lebih baik. Bukan pemimpin yang bisa membeli suara Rp. 50 ribu, Rp. 100 ribu." tandasnya.Didik menampik kemiskinan merupakan sebab utama maraknya politik uang. yang utama, kata dia, adalah faktor perilaku dan kelembagaan. Faktor kelembagaan karena tidak adanya aturan keras yang membuat jera pemberi uang. Sementara, "Faktor perilaku karena mental yang harus tumbuh tanpa ada norma yang menghambat." tandasnya.
Seberapa dominan sumbangan cukong untuk dana kampanye ?
Kalau sumbangan yang skalanya besar biasanya cukong. Dan cukong tidak hanya menyumbang di satu kandidat. Bisa jadi dia menyumbang ke partai, kandidat potensial. Mereka tidak punya proteksi sehingga pemodal besar pasti akan berpengaruh di dalam partai.Itu saya kira membuat suatu partai terkooptasi, atau bergantung secara ekonomi kepada seseorang. Dan sekarang kita bisa lihat partai dengan mudahnya digunakan untuk mememangkan kepentingan bisnis pemodal pemodal besar. Ini sebenarnya yang akan mengancam demokrasi secara keseluruhan.
Sebagian besar kasus kasus korupsi di Indonesia ada kaitannya dengan Korupsi Politik ?
Menurutku skala terbesar korupsi di Indonesia adalah korupsi politik. Meskipun yang kita potret dalam keseharian ini fenomena pengadaan barang dan jasa, atau fenomena lain. Tapi, kalau kita bedah, yang bermain di belakangnya kepentingan kepentingan politik
Oleh Sindu Adi Pradono SH
Pengamat Kebijakan Publik- Jakarta
0 komentar:
Post a Comment