![]() |
Ilustrasi |
Rapat dengar pendapat
(RDP) dipimpin Sekretaris Komisi V DPRD Banten Fitron Nur Ikhsan. Sementara
dari Disdik Banten hadir Kepala Dinas Engkos Kosasih, Sekretaris Dindik Banten
Rukman Teddy, dan para kabid. Turut hadir juga anggota Komisi V lainnya dan
perwakilan BJB.
Fitron menyoroti berbagai persoalan dalam
penyaluran dana BOS di Banten, antara lain mengenai transparansi laporan,
mekanisme pencairan yang tidak dilakukan secara parsial, bunga giro, hingga
penyusunan usulan maupun laporan pertanggungjawaban.
"Penyaluran dana BOS harus dilaporkan
secara online sehingga masyarakat bisa mengakses berapa jumlah sekolah di
kecamatan di delapan kabupaten/kota yang menerima BOS, bisa mengetahui jumlah
siswa yang mutasi. Dengan begitu, masyarakat akan objektif melihat apakah sudah
sesuai atau belum," kata Fitron.
Selain itu, kata dia,
Disdik Banten harus mencari solusi agar tidak ada keterlambatan penyaluran BOS.
"Harusnya jangan dibuat parsial, kabupaten/kota yang sudah lengkap
usulannya, rajin pertanggungjawabannya jangan disamakan dengan yang
lambat," kata Fitron.
Terkait bunga giro,
pihaknya menilai seolah-olah mekanisme pencairan dana bos yang tidak parsial
tersebut memang didesain agar ada keterlambatan pencairan, sehingga memunculkan
bunga giro karena dana mengendap di bank.
"Fakta bahwa bunga giro itu ada,
hitungannya per hari, bunganya setahun 3 persen. Total BOS itu di tahun ini Rp
1,9 triliun, bisa dibayangkan 1 persennya saja berapa. Kami tidak menuduh, tetapi
ketika SK gubernur itu kan by name by adress keseluruhan penerima BOS. Aturan
ini seperti didesain untuk terlambat. Karena kabupaten/kota yang usulannya
bagus, malah mendapat punishment yang sama dengan yang terlambat. Akhirnya
keterlambatan menyeluruh," kata Fitron.
Sementara, Kepala Disdik
Banten Engkos Kosasih Samanhudi, tak menampik adanya keterlambatan penyaluran
BOS di Banten. Menurutnya, permasalahan terdapat di sekolah maupun di dinas
pendidikan tingkat kabupaten/kota yang lambat dalam pelaporan baik usulan
maupun laporan pertanggungjawaban.
"Ini permasalahannya
bukan pada Dinas Pendidikan provinsi, karena kami tentu sesuai usulan dari
Disdik kabupaten/kota. Dan mereka juga mengkompilasi dari sekolah-sekolah. Nah
ini kan perlu waktu, proses. Memang dalam ketentuan itu seminggu setelah dana
bos masuk ke kas daerah harus segera disalurkan. Namun, itu tidak mungkin
karena ada proses kan, penerbitan SK gubernur, itu isinya kan by name by
address ada nama anak yang jumlahnya ratusan ribu," ujarnya.
Permasalahan lainnya
yaitu tidak adanya tenaga yang khusus mengurusi tentang pelaporan maupun usulan
dana BOS di setiap sekolah. "Itu kan harus detil, tidak boleh ada salah
nama, salah nomor induk, salah angka. Ini ada beberapa kasusnya seperti ini sehingga
karena penyalurannya harus serentak, akhirnya daerah lain yang sudah lebih dulu
mengusulkan tetap menunggu, supaya berbarengan," katanya.
Menurutnya, keterlambatan
pencairan dana BOS tersebut bukan disengaja, tetapi memang ada kabupaten/kota
yang terlambat seperti Kota Tangerang Selatan. Bahkan, informasinya Tangsel
sudah 2 triwulan berturut-turut mengalami keterlambatan usulan. "Kemarin
itu permasalahannya ada di kabupaten/kota. Antara lain Kota Tangsel, Kabupaten
Tangerang. Ada keterlambatan mengusulkan dan pertanggungjawaban," katanya.
Ia menjelaskan, karena
penyaluran BOS tersebut harus dilakukan serentak, maka ketika ada satu saja
sekolah atau kabupaten/kota yang terlambat akan berdampak pada seluruh
kabupaten/kota. "Kami sedang mewacanakan agar nanti dibuat tidak parsial
lagi, jadi bagi kabupaten/kota yang lambat ada punishment, ditinggal saja. Ini
yang nanti akan dibicarakan dengan BPK dan kabupaten/kota," kata Engkos.
0 komentar:
Post a Comment